Ketika Guru dan Siswa Sibuk Goyang TikTok: Refleksi Hari Pendidikan yang Membingungkan

Ketika Guru dan Siswa Sibuk Goyang TikTok: Refleksi Hari Pendidikan yang Membingungkan


Setiap 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Seharusnya ini menjadi momen kita berkaca: apakah pendidikan kita sudah berjalan ke arah yang benar? Apakah peran guru sebagai pendidik dan panutan masih dijunjung tinggi? Tapi di tengah euforia peringatan ini, jagat maya justru diwarnai oleh fenomena yang cukup membingungkan—guru dan siswa berjoget TikTok bersama di ruang kelas.

Video demi video memperlihatkan guru yang dengan luwes menggoyangkan badan mengikuti irama lagu viral, diikuti siswa-siswinya yang antusias meniru. Kegiatan ini terekam bukan di aula, bukan di panggung seni sekolah, tapi di dalam kelas, saat jam pelajaran berlangsung. Komentar netizen pun terbelah: ada yang menyebut ini sebagai “pendekatan kekinian” yang membangun kedekatan, tapi tak sedikit pula yang menyayangkan: “apa tak ada lagi cara lain mendidik yang lebih bermakna?”

Ketika Guru Jadi Content Creator, Kelas Jadi Studio

Teknologi dan media sosial memang telah mengubah banyak hal, termasuk cara mengajar. Kita tidak bisa menutup mata bahwa platform seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels menjadi ruang baru yang sangat diminati generasi muda. Wajar jika sebagian guru mencoba masuk ke ruang itu untuk menjangkau anak-anak dengan cara yang dianggap ‘relevan’. Namun, ketika aktivitas digital itu justru menggeser esensi pembelajaran—maka ada alarm yang perlu dibunyikan.

Dalam banyak kasus, guru tidak hanya berjoget sendiri, tapi mengajak muridnya ikut berjoget bersama, bahkan di tengah kegiatan belajar mengajar. Bukan bagian dari pelajaran olahraga atau seni tari, tapi sekadar ikut tren. Video kemudian diunggah dengan latar kelas, papan tulis, dan caption yang menyiratkan kebanggaan karena “dekat dengan murid”. Tapi apakah benar ini bentuk kedekatan yang mendidik? Ataukah ini bentuk lain dari kegagapan menghadapi perubahan zaman?

Antara Kreatif dan Gagal Menjadi Teladan

Kita tentu tidak menolak kreativitas guru. Bahkan kita butuh lebih banyak guru yang kreatif, inspiratif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Tapi kreatif tidak sama dengan viral, dan relevan tidak selalu berarti mengikuti tren tanpa nilai. Ketika guru menari bersama siswa demi konten, lalu diunggah ke media sosial, yang terjadi bukan sekadar hiburan—tapi ada proses pembiasaan bahwa segala hal boleh dijadikan konten, bahkan momen belajar sekalipun.

Dalam budaya Indonesia, guru adalah panutan. Kita menyebut mereka pahlawan tanpa tanda jasa, bukan influencer tanpa nalar etika. Guru bukan sekadar penyampai pelajaran, tapi penjaga karakter, pembentuk arah berpikir, dan penanam nilai hidup bagi anak-anak. Jika ruang kelas kini berubah jadi studio joget, siapa yang akan menjaga marwah pendidikan?

Fenomena Nasional yang Bukan Sekadar Lucu-Lucuan

Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu atau dua sekolah. Jika ditelusuri di TikTok atau Instagram, ada ratusan bahkan ribuan video sejenis: guru ASN lengkap dengan seragam dinas, berjoget bersama siswa di tengah kelas. Ada yang viral karena gerakannya bagus, ada juga yang viral karena dinilai “tidak pantas”. Beberapa kepala sekolah dan dinas pendidikan mulai angkat suara dan memberi teguran. Tapi tidak sedikit pula yang membiarkannya atas nama “pembelajaran kekinian”.

Sayangnya, tidak ada batas yang jelas antara konten mendidik dan konten hiburan murni. Semua campur aduk dalam satu algoritma: yang penting dilihat, disukai, dan dibagikan. Akibatnya, batas profesionalitas guru pun kian kabur. Jika yang viral adalah guru joget, lalu guru yang serius membangun literasi tidak mendapat panggung—maka arah pendidikan digital kita patut dipertanyakan.

Apa yang Seharusnya Dilakukan?

Momentum Hari Pendidikan Nasional harusnya bukan hanya perayaan, tapi refleksi mendalam. Kita perlu bertanya:

  • Apakah kita sedang membangun generasi berpikir kritis, atau hanya melahirkan generasi yang pandai berjoget?
  • Apakah guru diberi cukup pembekalan untuk menjadi kreatif dengan cara yang tepat?
  • Apakah kita menyiapkan etika digital dalam dunia pendidikan, atau membiarkannya tumbuh liar?

Beberapa langkah konkret yang bisa mulai dilakukan:

  1. Kementerian Pendidikan perlu menyusun panduan etika bermedia sosial bagi guru dan tenaga pendidik.

  2. Sekolah perlu membedakan ruang ekspresi dan ruang edukasi. Kalau mau mengajak murid joget, buatlah dalam acara pentas seni atau kegiatan ekstrakurikuler.

  3. Perlu edukasi literasi digital yang berimbang—mengajarkan guru dan murid bahwa viral bukan segalanya.

  4. Bangun ekosistem apresiasi yang mendukung guru berkarya dalam pendidikan, bukan hanya guru yang viral di TikTok.

Menjadi Guru di Era Digital: Bukan Soal Joget, Tapi Soal Jati Diri

Menjadi guru di era digital memang tidak mudah. Murid berubah, teknologi berubah, ekspektasi publik pun berubah. Tapi satu hal tidak berubah: peran guru sebagai penjaga peradaban. Jika guru menyerah pada godaan tren, siapa lagi yang akan menjaga akarnya?

Pendidikan bukan soal gaya, tapi soal nilai. Boleh jadi anak-anak senang diajak joget, tapi apakah mereka akan ingat pelajaran itu 10 tahun lagi? Atau hanya ingat kalau dulu gurunya viral?

Hari Pendidikan Nasional adalah waktu terbaik untuk bertanya: Apakah kita sedang mendidik atau sekadar menghibur? Jangan sampai semangat belajar tergeser oleh keinginan untuk trending. Guru tetap boleh kreatif, tapi jangan kehilangan jati diri. Karena di tangan merekalah masa depan anak-anak bangsa diletakkan.


Penulis :
Reynold Gobel

Post a Comment

0 Comments